Dibuat oleh : Ana
Firdaus ^_^
Kusandarkan
punggung ini di bawah cahaya lampu kota bersama teman teman, menikmati hidangan
makanan khas kota ini. Sebuah warung makanan sederhana yang menjajakan berbagai
makanan khas Yogyakarta yang bernama ‘Sego Kucing’. Disinilah ku nikmati waktu
senggang bersama mereka. Ditemani alunan musik seniman jalanan dan suara deru
kendaraan lalu lalang. Berbagai canda, tawa, keluh, kesah kami curahkan di
tempat ini. Aku, Susi, Dani, Aldo dan Rina berteman sudah hampir 2 tahun. Kami
di pertemukan di sebuah kelas bangku kuliah sebuah Universitas Swasta di
Yogyakarta. Aku, Rina dan Aldo berasal dari kota berbeda. Yah.... bisa di
bilang anak perantauan juga sih. Rina berasal dari Garut, Aldo Sukabumi, dan
aku sendiri dari Bandung. Jarak kami tinggal tidak terlalu jauh dari kampus,
sekitar 50 meter. Sedangkan Susi dan Dani warga asli kota ini. Persahabatan ini
terbentuk dengan sendirinya seiring waktu berjalan dan rasa nyaman akan
perbedaan sifat masing masing.
Suatu
malam ketika kami sedang berkumpul disini, tawa canda kami tiba tiba terhenti.
Ketika kami mendengar suara alunan lagu anak usia dini. Dia memainkan gitarnya
dengan lincah akan lagu cerianya. Ketika ia selesai bernyanyi, seorang bapak
mengusap rambut anak itu dan berkata “Berapa usiamu nak ?” Ia pun menjawab, “9
tahun Pak”. “Kok malam malam masih ngamen sih? Engga belajar dirumah ?” kata
bapak tersebut. “Aku engga sekolah pak, ibu engga punya biaya” wajah murungpun
tampak dari anak tersebut. “Emang ayah kamu kerja apa nak?” tanya bapak itu. “Ayah
udah meninggal, aku yang bantu ibu cari duit ” dan anak itu pun pergi
meninggalkan angkringan ini.
Suasana
ramai candaan kami berubah menjadi sunyi seketika. Entah kami tersentuh akan
nasib anak itu ataukah suara merdunya yang membuat kami kagum.
“Woy....................
Penonto.... kok sepii sihh ?” teriak Aldo memecahkan suasana.
“Hmm... Kalian dengar
gak sih tadi obrolan pengamen tadi sama bapak itu?” tanyaku.
“Iya denger kok”
serentak anak anak menjawab.
“Kasian juga yahh 9
tahun udah harus berjuang cari nafkah. Sedangkan kita disini masih bisa santai” saut Rina.
“Aku punya usul nih”
tambahku. “Apa ? Apa ?” tanya Aldo
“Gimana kalau kita bikin
komunitas pengajar anak jalanan ?” kataku.
“Wahhh..... Bagus juga
tuh. Ayolah kapan kita bisa mulai ? Jangan kebanyakan mikir”, kata Susi. Canda
tawa kamipun berubah menjadi obrolan yang bisa dibilang sedikit serius sihh,
walau masih ada terselip candaan.
Kami
berlima mulai tergerak untuk memulai kegiatan belajar mengajar anak jalanan.
Walau sedikit sulit, tapi kami berusaha sekuat tenaga. Lapangan alun alun dekat
kota kami jadikan tempat belajar, perlengkapan yang di butuhkan kami beli
dengan mengumpulkan uang jajan yang kami sisihkan. Tugas terberat yaitu
pendekatan pada anak jalanan ini untuk mengajak mulai belajar. Sedikit demi
sedikit pun kami mulai bisa mengajak mereka. Walau hari pertama dimulai hanya
ada 5 anak, tapi kami tetap semangat dan optimis. Sore hari di bawah rimbunan pohon yang
rindang kami berkumpul. Memberi sedikit ilmu kepada mereka yang membutuhkan.
Mulai dari pengajaran akhlak, membaca, menulis, berhitung, dan berkreatifitas.
Hari demi haripun kita lalui di tempat ini dan lambat laun jumlah anak
bertambah banyak. Senang rasanya bisa
berbagi ilmu dengan mereka.
Setelah
5 bulan berjalan, kami membuat proposal pembentukkan Dompet Sosial yang akan
digunakan untuk mendirikan sebuah Rumah Belajar yang di dalamnya pun kami lampirkan
kegiatan yang sudah dilaksanakan selama ini. Proposal ini awalnya kami bagikan
di setiap kelas dan yang pada akhirnya tersebar sampai ke ruang Sekretariat
Dosen. Tak di sangka, respon mereka pun positif untuk hal ini. Dana sedikit
demi sedikit mulai terkumpul dan cukup untuk memenuhi kebutuhan anak anak. Dan
yang lebih membuat senang lagi yaitu mereka yang mau bergabung untuk menjadi
sukarelawan tenaga pengajar. Kami pun akhirnya memutuskan untuk menyewa sebuah
kios yang letaknya bersampingan dengan
alun-alun kota. Setelah kios itu berhasil kita sewa, kita pun mulai
merapihkannya.
“Huft........ akhirnya
selesai juga” ,kata Dani sambil mengelap kerikat di wajahnya.
“Yehhh........... Rumah
baru kita, markas kita bersama” , teriak Susi.
“Tinggal kasih nama ajja
nih. Apa ya kira-kira?” tanya Rina
“Cahayaku Cahayamu” ,
sahut ku. “Apa tuh maknanya?” tanya Aldo.
“Jadi ..... Kita kan
disini berbagi ilmu untuk anak jalanan. Ilmu kita itu kan cahaya, dan kita bagikan cahaya ini ke mereka. Gimana ?? Ada
yang lain? ” jawab ku.
“Hmmmmmmm...... Bagus
juga sih menurutku,, namanya juga gampang di hafal” sambung Susi. Dan akhirnya
semua pun setuju dengan nama rumah belajar “Cahayaku Cahayamu”.
Satu
tahun rumah belajar ini pun berdiri. Semakin banyak anak jalanan yang mulai
tersentuh hatinya bergabung disini.
Begitupun tanggapan masyarakat sekitar yang baik. Banyak sumbangan yang kami
terima dari masyarakat untuk kelangsungan kegiatan belajar mengajar disini.
Kami pun sangat senang dengan semua ini. Perjuangan selama ini untuk membagikan
ilmu ke mereka kini terjawab sudah. Dan kami terus melakukan pengabdian dan perbaikan
untuk rumah belajar ini. Sampai waktu mereka tumbuh dewasa kelak yang mungkin
akan menjadi tenaga pengajar. Rumah belajar “Cahayu Cahayamu” ini yang akan
selalu menjadi kenangan kita dan keutuhan persahabatan yang tidak akan pupus
oleh waktu.