Perekonomian Indonesia Sebelum masa Orde BaruPsssssPBottom of Form=
Indonesia terletak di posisi geografis
antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi
yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra,
yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka
ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah,
ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur).
Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad
pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah
di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional
disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh
raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat
perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai
zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari
berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu,
karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas
dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai
dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah
di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter
banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak
terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor
logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan
ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan
di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu
bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga
lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia
secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan
perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini. Seusai masa kerajaan-kerajaan
Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat
masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
A.SEBELUM
KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami
masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang
pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang.
Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu
diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350
tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk
menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa
pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan
kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia
saat itu).
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Belanda
yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di
Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda
kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang
didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang
Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC
(Inggris.)
Untuk mempermudah aksinya di Hindia
Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi, hak mencetak uang,
hak mengangkat dan menberhentikan pegawai, hak menyatakan perang dan damai, hak
untuk membuat angkatan bersenjata sendiri, dan hak untuk membuat perjanjian
dengan raja raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan
VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti
bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun
1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di
Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang
dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum
membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi.
Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie
(kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi)
dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar
harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan
jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan
hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua
aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi
oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan memonopoli
rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan
begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga
diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk
Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi
ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor
logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar
dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat
ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan.
Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca
pembayaran sampai tahun 1870-an. Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap
gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada
defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh:
a.Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan
memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
b.Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c.Korupssi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d.Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun
kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche
Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain
karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh
Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat
oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di
Hindia Belanda.
B. Pendudukan
Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak
hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan
menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan
Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia
Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang
untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah
imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk
dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari
negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang
berkembang di Eropa, antara lain :
a.Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang
menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak
produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan
ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat
kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah
surplus (melebihi permintaan).
b.Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar
bagi produk yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap
hasil produksi.
c.The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga
dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit
dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma
seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
a.Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang,
apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
b.Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris
tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas
inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi
yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan
pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila,
tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan
penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan
dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini,
seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan
berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan
penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman
komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk
kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain
dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk
melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para
pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai
dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan
darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi
positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor
yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di
pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda,
ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang
mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat
pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk
yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan
teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari
keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima
sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian
lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat,
sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan
kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
C. Sistem Ekonomi
Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda
yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik,
mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya.
Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur
tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan
tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga
masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang
mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi
sebagai buruh penggarap tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas
ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar
dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta,
walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai
penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang
pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pendudukan Jepang (1942-1945)ÿ
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya
ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai
akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan,
karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak
jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor
macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan
impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur
oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai
seusai memenangkan perang Pasifik.
D. ORDE LAMA
Masa pasca
kemerdekaan (1945-1950)
Pada awal kemerdekaan,
pembangunan ekonomi Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional, yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk
memproduksi barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi
tingkat ketergantungan terhadap luar negeri.
Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank sentral masih berjalan seperti
wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak ekslusif untuk mencetak uang dan
memegang tanggung jawab perbankan untuk memelihara stabilitas nasional. Bank
Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan dari pengambilan keputusan politik.
Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai meramba ke proyek-proyek besar. Hal
ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan Rencana Pembangunan Semesta Delapan
Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana pendirian proyek-proyek besar dan
beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek besar tersebut. Rencana ini
mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan perhitungan modern. Namun
sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun ini tidak berjalan atau
dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti adanya kekurangan devisa
untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli.
Perekonomian
Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk. Terjadinya
pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan
pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya
konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana
revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa.
Perekonomian juga diperparah dengan terjadinya hiperinflasi yang mencapai 650%.
Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai
dekat dengan negara-negara komunis.
E. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena
dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal.
Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang
menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah
dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina.
Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang
baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada
perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan
ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang
cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr
Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
F. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5
Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan
tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga
barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp
1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat
uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali
lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini
malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak
proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini
juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin
yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam
politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
Sumber:
Buku Perekonomian Indonesia
Buku Sejarah Perekonomian Indonesia